Sabtu, 25 September 2010

Menjelajah atau liburan dengan bermodal ransel dan dana minimal, yang populer disebut sebagai backpacking ternyata kini semakin digandrungi. Komunitasnya tumbuh mendunia dan forum-forum diskusinya subur berkembang bak cendawan di musim hujan. Rupanya kegiatan yang satu ini memang murah meriah, menantang dan mengasyikkan. Tapi, bagaimana sebenarnya asal-usul backpacking?

Pada 1970-an, ketika kaum Hippie sedang berkembang, mereka melakukan perjalanan menyebrangi benua Eropa. Mereka menelusuri Eropa sampai ke kota-kota tua Asia dengan tujuan mencari Tuhan, menemukan diri sendiri dan berinteraksi dengan orang lain. Konon yang mengilhami perjalanan mereka adalah sejarah ekspedisi perdagangan Jalur Sutra. Ekspedisi itu mengambil rute menyebrangi Mesir, Mesopotamia, Persia, India sampai ke Cina.
Para kafilah pada masa itu tidak hanya melakukan perdagangan tetapi juga penyebaran agama dan pertukaran budaya.


Selain latar belakang tersebut, sejarah travelling kerap menyebut nama Giovan Francesco Gamelli Careri. Ia dikenal sebagai backpacker pertama. Giovan adalah seorang warga Italia yang bekerja di sebuah pengadilan. Merasa tak puas dengan hidupnya dan dipicu oleh rasa ingin tahu yang besar, Giovan berhasrat menjelajahi dunia dalam rangka menemukan hal-hal baru. Pada tahun 1693, ia menyebrangi Samudra Pasifik dari Manila menuju Acapulco, dan menjejakkan kakinya di Amerika Selatan serta Asia Utara. Perjalanan tersebut memakan waktu lima tahun dan 254 hari. Saat pulang ke Italia, dia menerbitkan laporan ekspedisinya. Begitu lakunya buku tersebut sampai harus dicetak ulang lima kali. Bahkan novel Around the World in 80 Days karangan Jules Verne disebut-sebut mengambil inspirasi dari kisah Giovan.

Hari ini, perjalanan Giovan Careri telah melegenda di kalangan pecinta travelling. Namun kisahnya masih terus menginspirasi jiwa-jiwa petualang untuk memanggul ransel mereka dan menjelajahi dunia. Jadi, apa anda pun tertantang untuk mengikuti jejak Giovan Careri?


sumber gambar
referensi: Jelajah Dunia dengan Ransel
oleh Bernadeta diah Aryani
Bonus RDI Juni 2008

Selasa, 21 September 2010

Di Negara ini, jumlah sarjana (S1) yang menganggur meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu, bagi mereka yang sudah bekerja pun, persaingan di dunia kerja ke depan akan semakin ketat. Bagi mereka yang berkemampuan lebih, mengambil kuliah S2 untuk mempersenjatai diri dalam persaingan tersebut tentu bukan masalah. Namun, apakah gelar S2 memang menjadi kebutuhan bagi anda untuk memenangkan kompetisi?


Nilai lebih
Kuliah S2 memang dapat melatih logika seseorang dan mengasah kecerdasan. Selain itu, kuliah S2 juga membantu memperluas jejaring. Berbeda dengan mahasiswa S1 yang masih 'baru gede', mahasiswa S2 kan rata-rata sudah bekerja dan lebih dewasa, sehingga hubungan dengan rekan sesama mahasiswa S2 sifatnya lebih terarah dan berorientasi keprofesian.

Soal kompensasi materi, asalkan faktor-faktor lain juga mendukung, seorang yang bergelar S2 akan mendapat nominal yang lebih tinggi dibanding lulusan S1. Itu karena lulusan S2 dinilai lebih menguasai lingkup kerja, metodologi dan mekanisme sistem yang berjalan.


Meningkatkan Karier
Sudah menjadi pendapat umum bahwa memiliki gelar S2 akan menjadi jalan pintas untuk meningkatkan karier dan pendapatan. Tapi apakah benar demikian?

Sebenarnya, pada tingkat manajerial, gelar S2 memang diakui menjadi nilai tambah; tapi itu tak pernah menjadi dasar perekrutan karyawan. Bahkan pada posisi management trainee atau entry level, justru tidak ada perbedaan antara lulusan S1 dan S2. Yang lebih ditekankan adalah faktor karakter dan kompetensi, serta chemistry yang terbentuk antara si pelamar dengan perusahaan.

Memang di Indonesia ada beberapa perusahaan, terutama BUMN, yang menerapkan perbedaan gaji dan jabatan bagi lulusan S1 dan S2. Di sana, gelar akademik berlaku sebagai syarat untuk memperoleh promosi jabatan. Tapi perusahaan seperti itu tidak banyak, jadi secara umum gelar S2 tidak menjamin peningkatan gaji atau jabatan.

Beberapa tahun yang lalu, permintaan lulusan S2 untuk entry level memang sempat tinggi. Namun sekarang permintaan tersebut menurun, seiring dengan disadarinya kenyataan bahwa kinerja mereka dianggap sama dengan lulusan S1.


Mengejar pendidikan formal setinggi mungkin memang penting, terutama di era global ini. Namun gelar akademik yang lebih tinggi tidak menjamin anda akan mendapatkan karier yang lebih baik. Sebab bagaimanapun, yang dinilai dalam dunia kerja adalah keterampilan anda bekerja dan kecakapan anda membina hubungan dengan badan di mana anda bekerja. Karena itu, apapun jenjang pendidikan yang anda ambil, pastikan anda membarenginya dengan pembentukan kepribadian dan pengasahan keterampilan nyata.


sumber gambar
referensi: Kejar Karier, Gelar S2 Kutangkap
oleh Antono N. Purnomo
Bonus RDI April 2008