oleh TS. Frima
Kamu duduk bersila. Dengan kedua tangan, kamu pegang tabletmu. Dan dengan kedua mata, kamu cermati lagi pesan di chat-app itu. Awalnya, ketika kamu lihat pesan itu masuk, kamu mendengus. Pengirimnya adalah sebuah nomor tidak bernama. Profilnya pun tidak menampilkan foto wajah; hanya gambar kucing yang entah diambil dari mana. Sebelum membukanya, kamu sudah berprasangka duluan. Paling juga orang yang sedang ingin minta tolong. Atau sedang promo dagangan. Kamu sudah terlalu kenyang mendapati yang begituan. Tapi ketika kamu buka, isi pesannya ternyata sama sekali lain.
Dua buah gambar. Foto halaman depan dan halaman belakang sebuah undangan. Mengringinya, beberapa baris kata.
Hi, how’s life? I hope it’s treating you well :)
Anyway, this is the invitation for you,—
Namamu tersebut di sana.
I’d love to see you at my wedding,
So, please come, okay :)
Begitu santai; begitu kasual. Apakah itu yang disebut akrab?
Kamu berkedip. Matamu lelah dengan pijar layar tablet itu.Jadi kamu tutup tablet itu, lalu kamu lemparkan ke kasur. Pelan-pelan kamu baringkan badan di karpet kamar.
Kamu telentang, menatap kosong ke langit-langit. Di matamu, langit-langit yang putih itu menjelma jadi layar tancap. Adegan-adegan dari bertahun yang lalu tampil berputar silih berganti. Gorden hijau dan biru yang berkibar, semburat terik matahari yang menerobos celah ventilasi, meja kursi yang penuh coretan. Lalu jalanan lurus yang berkabut, angkot yang saling berpacu, dan hamparan lahan gambut di kiri-kanan.
Kamu ingat nama itu, yang tertulis di undangan itu. Kamu ingat di mana kalian pertama bertemu. Kamu ingat nada bicaranya yang—menurutmu—lucu; naik-turun bercengkok melayu. Kamu ingat kebiasaannya saban terbentur; menutup muka di tengah keramaian sambil bicara sendiri, seolah tidak ada orang lain di sana. Kamu ingat rambutnya yang ikal, dan pakaiannya yang berkibar ketika dia memacu motor dengan kecepatan diatas 100 km per jam. Kamu ingat gaya berpakaiannya yang biasa, dan aroma tubuhnya yang juga tidak istimewa. Kamu ingat betapa membuminya dia.
Kamu ingat semuanya, kecuali satu:
Wajahnya.
Bentuk alisnya dan warna matanya, kamu tak ingat. Bagaimana bentuk bibirnya dan bagaiaman caranya tersenyum, kamu tak ingat. Tembemkah pipinya? Kamu tak ingat.Setiap kali kamu melihatnya dalam tayangan di langit-langit itu, hanya ada kekosongan yang putih dan menyilaukan di tempat di mana wajahnya seharusnya berada.
Sosok itu, seolah-olah berasal dari dunia lain saja.
Tapi ah, mana mungkin, pikirmu sambil nyengir sendiri. Ya sudahlah, putusmu, abaikan saja dulu.
Tak lama kemudian, kamu pun tertidur lah. Tanpa kamu tau bahwa tabletmu berkedip dan bergetar berulang-ulang.
Hari berikutnya kamu terbangun. Mandi dan berpakaian dan sarapan seperti biasa. Namun alangkah terkejutnya kamu ketika memeriksa tablet, dan mendapati ada ratusan pesan masuk yang belum dibaca. Pesan-pesan itu masuk melalui SMS dan chat-app. Kamu buka satu per satu. Sampai di pesan ke-dua-puluh sekian, kamu mulai merasa tidak enak. Semua pesan berisi sama: udangan yang kamu terima tadi malam.
Butuh puluhan menit untuk membuka semua pesan itu satu per satu. Total pesannya kamu tidak ingat, sekitar enam ratus sekian puluh. Tak satu pun kamu balas, karena kamu pikir itu pasti perbuatan iseng. Tidak ada lucu-lucunya, jadi kamu putuskan untuk mengabaikannya sekalian. Siapa pun pelakunya, apakah si pemilik nama di undangan itu sendiri atau orang lain yang sekedar memakai namanya, tidak lah penting. Yang jelas orang iseng kalau diladeni akan merasa memang, dan akan makin menjadi.
Beberapa hari sudah berlalu, ketika tiba-tiba ponselmu berdering dan menampilkan nama seorang kenalan lama. Agak heran, kamu terima panggilan itu.
“Halo?”
“Halo. Kamu kemaren-kemaren dapat pesan undangan nikahan Si—” dia menyebutkan sebuah nama “–gak?”
Kamu terkejut. Jadi orang lain juga mendapat pesan iseng itu, pikirmu.
“Iya. Kenapa? Itu siapa sih yang ngirim iseng banget.”
“Kamu dapet berapa? Pesan undagan yang masuk berapa?”
“Gak tau.Gak merhatiin.”
“Jumlahnya 666! Coba deh kamu itung.”
“....”
“Kamu udah liat beritanya belum?”
“Berita apa?” tanyamu bingung.
“Masa gak tau, ada di TV sama internet. Heboh banget.”
“Memang udah lama gak pernah nonton TV atau baca portal berita. Banyak bullshit-nya.”
“Tsk”
“Apa sih?” kamu mulai curiga.
“Itu, dia nikah sama makhluk halus!”
“….”
“Halo? Kamu dateng gak kemaren ke acaranya?”
“Kemaren? Kejadiannya kemaren? Gak dateng lah, kirain itu udangan iseng bukan beneran.”
“Kamu liat beritanya deh sekarang, di internet ada foto sama videonya.”
“Iya, nanti deh habis kerja.”
“Aduh, bukan itu. Maksudku, di semua foto dan video itu, mukanya gak keliatan!”
“Gimana maksudnya?”
“Mukanya ilang! Gak ada mukanya dia!”
“….”
“Kamu masih inget mukanya dia?”
“Eng…enggak sih. Lupa, udah lama kan gak ketemu.”
“Bukan cuma kamu. Semua orang gak ada yang inget mukanya dia! Aku udah tanyain beberapa teman kita, semuanya juga gak ada yang bisa ingat.”
“Maksudnya, mukanya memang udah gak ada, udah dihapus, termasuk dihapus dari ingatan kita?”
Dihapus. Dari ingatan. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutmu.
Dihapus. Dari ingatan. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutmu.
“Iya, kayanya gitu”, jawabnya pasrah.
“….”
Hari itu, kamu menonton TV dan menelusuri portal-portal berita setelah sekian lama tidak. Hari itu, yang heboh bukan hanya teman-temanmu, tapi sepertinya seluruh dunia juga. Wajar saja. Seseorang menikah dengan makhluk halus kemarin, di depan umum, dengan saksi dan bukti foto serta video. Dan seseorang itu telah dihapus wajahnya dari semua pengelihatan dan ingatan manusia.
Padang, 10 September 2014
Kamar, 21:33