Minggu, 26 Oktober 2008

(dari sebuah Reality Show di TV swasta Indonesia)

*Oleh: T. S. Frima

Dalam seni lukis kontemporer, pelukis tak hanya bisa memakai kanvas sebagai tempat untuk mengguratkan sebuah karya, tetapi juga dapat menggunakan media lain. Karena seni kontemporer tidak lagi mengenal batasan media, sehingga bahkan tubuh mulus wanita pun dapat dijadikan media lukisan.
Melukis di atas tubuh, atau yang lebih dikenal sebagai Body Painting, merupakan salah satu bentuk seni lukis kontemporer (masa kini) yang dewasa ini tengah digemari oleh masyarakat modern. Di luar negeri, khusunya di kalangan masyarakat barat (western society), Body Painting sudah populer sejak dekade 1960an. Sedangkan di Indonesia sendiri kesenian ini baru mulai dikenal beberapa tahun belakangan.

Berbeda dengan tato yang menggunakan jarum dan cat permanen, Body Painting menggunakan cat air yang bersifat sementara (temporer) dan kuas seperti yang dipakai untuk melukis biasa. Dalam Body Painting, seluruh permukaan tubuh manusia dapat dijadikan media lukisan, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Model Body Painting biasanya hanya mengenakan pakaian minim, atau bahkan bugil sama sekali.

Seni Body Painting diyakini berasal dari bentuk-bentuk kesenian kuno/tradisional yang dimiliki oleh hampir semua kebudayaan di dunia. Sejak dulu masyarakt tradisional telah terbiasa mendekorasi tubuh dengan pewarna alami yang temporer untuk tujuan tertentu, misalnya untuk ritual-ritual religius, untuk kamuflase saat berburu, untuk penanda status sosial, atau untuk perayaan adat. Sampai sekarang bentuk asli kesenian melukis tubuh semacam ini masih dapat kita temukan di beberapa masyarakat, misalnya pada kehidupan masyarakat pribumi Australia, Selandia Baru, Afrika, dan masyarakat Asia. Salah satu contohnya ialah Mehndi. Mehndi, yang disebut juga sebagai bentuk semi-permanen dari Body Painting karena kemampuannya bertahan selama beberapa minggu, merupakan seni melukisi tubuh menggunakan pewarna henna. Mehndi masih dipraktekkan oleh masyarakat India dan Timur Tengah, yaitu bagi pengantin wanita dalam upacara perkawinan tradisional. Contoh lainnya ialah masyarakat Papua yang melukisi tubuhnya sebelum berperang atau ketika menampilkan tari-tarian tradisional.











Awal kemuculan Body Painting sebagai sebuah seni kontemporer dalam masyarakat modern ialah melalui sebuah gerakan seni-alternatif minor di era 1950-1960an. Pada masa itu beberapa pelukis mencoba membuat lukisan tanpa memakai kuas. Sebagai gantinya, mereka melumuri tubuh seorang model, kemudian menyuruh model itu menyentuh kanvas, menempelkan tubuhnya ke kanvas, dan berguling di atas kanvas. Hasil yang didapat dari teknik ini adalah semacam ‘cap’ atau ‘stempel’ tubuh model, dengan lekuk-lekuk tubuh model terefleksikan dalam gambar yang tercipta. Dari sana kemuadian terjadi perubahan, dari ‘menggunakan tubuh sebagai alat lukis’ menjadi ‘menggunakan tubuh sebagai media tempat melukis’. Seniman Perancis Yves Klein barangkali dapat dikatakan sebagai pelopor paling dikenal dalam melukis dengan teknik ini.

Dibanding seni lukis konvensional, Body Painting relatif tertinggal. Sifatnya yang tidak permanen membuat karya yang dihasilkan tak bisa disimpan lama, kecuali dalam bentuk foto atau rekaman video. Akibatnya Body Painting kurang cepat dikenal masyarakat.
Di Indonesia sendiri, Body Painting terutama masuk melalui Bali. Mungkin karena Bali adalah tempat berkumpulnya para seniman sekaligus tempat persentuhan masyarakat dengan budaya asing. Salah satu seniman Body Painting (atau disebut Body painter) yang populer ialah I Nyoman Rediasa, atau dikenal juga dengan nama Polenk. Dia mengaku mempelajari Body Painting secara otodidak dari majalah-majalah terbitan luar negeri.

Dalam Body Painting, sebelum melukis, seorang Body Painter harus memperhatikan bentuk tubuh model yang dijadikan media, karena setiap lekukan tubuh akan mempengaruhi titik fokus lukisan. Kesulitan dalam Body Painting terletak pada menyikapi lekukan tubuh model. Salah satu bagian poaling sulit ialah melukis di daerah payudara. Namun di sana pula lah letak tantangannya. Seorang Body painter dituntut untuk bisa mempertahankan proporsi dan fokus gambar meskipun pada daerah yang berlekuk-lekuk.
*

Body Painting sebagai sebuah seni tidak hanya dapat dinikmati, tetapi juga dapat diperlombakan. Sementara ini, kompetisi Body Painting yang rutin diadakan hanya ada di Bali. Biasanya kompetisi diadakan di tempat hiburan, secara terbuka. Panitia menyediakan model dan kemudian mengundi pasangan model-pelukis. Karena memakai undian, peserta tidak dapat memilih model yang diinginkan. Ada tantangan tersendiri bagi para peserta lomba. Model yang berpakaina minim jelas dapat mengganggu konsentrasi. Begitu pula hentakan musik yang memekakkan. Belum lagi waktu yang diberikan hanya 1 jam. Tak jarang sang pelukis terpaksa mengubah ide yang akan dituangkan karena mempertimbangkan anatomi tubuh model dan keterbatasan waktu. Misalnya proporsi yang dibayangkan ternyata tidaj sesuai dengan bentuk tubuh model, sehingga perlu disesuaikan. Sementara bagi para model juga ada tantangan tersendiri. Misalnya cat dan kuas lukis yang membuat tidak nyaman, maupun kelelahan karna tidak boleh banyak bergerak agar lukisan tidak rusak. Kadang kala para model juga kedinginan karena mereka hanya memakai pakaian minim.

Bila lukisan telah selesai, model akan memperagakannya di atas pentas untuk dinilai. Kriteria penjurian antara lain keserasian, warna, keindahan, dan originalitas & kreatifitas. Selain penilaian juri, sambutan penonton juga menentukan siapa yang pantas menang.

Ketika ditanya perihal pakaian minim dan apakah tidak malu menampilkan tubuh di depan khalayak, para model menganggap itu bukanlah suatu porno aksi. Mereka berargumen bahwa hal itu jangan dilihat dari kevulgarannya, tapi dari dari nilai-seninya. Para model juga yakin bahwa Body Painting dapat menjadi batu loncatan untuk memperoleh popularitas sebagai model profesional, jadi tidak perlu malu. Apa lagi penghasilan yang diperoleh cukup besar.


Di uar negeri, festival maupun perlombaan Body Painting telah menjadi acara tahunan yang melibatkan Body Painter amatir hingga profesional. Tidak hanya event-event berskala kecil, yang berskala besar pun sudah rutin digelar. Bahkan peserta dari Indonesia tak jarang ikut ambil bagian. Contohnya dalam ajang Body & Make Up Art Competition CIDESCO pada akhir oktober 2007 lalu di Malaysia, Indonesia sempat meraih juara ketiga. Dalam kejuaran yang diikuti 37 negara tersebut, Indonesia diwakili oleh Muhammad Dauk Deddy Nurjadi dan Duma Riris Silalahi (runner up I Putri Indonesia 2007).


Dalam perkembangannya, Body Painting telah menjadi lebih fleksibel dan variatif. Body Painting tidak harus memakai sebagian besar tubuh, tetapi bisa juga hanya pada bagian tertentu yang kecil saja, sehingga model Body Painting tidak mesti bugil atau berpakaian minim. Contoh Body Painting ringan semacam ini misalnya kita temukan pada suporter dalam pertandingan olahraga yang melukisi wajahnya, tangannya, atau dadanya dengan lambang team yang didukungnya. Bentuk lain Body PAINTING yang sebenarnya sudah cukup lama kita kenal adalah pada riasan badut. Sedangkan bentuk body painting yang lain adalah tentara yang mencoreng wajah dan bagian tubuh lainnya yang terekspose dengan warna-warna untuk kamuflase.

Kini Body Painting telah merambah ke masyarakat yang lebih luas. Dalam festival, parade, pagelaran musik, atau event-event lainnya dalam masyarakat kita dewasa ini, tak jarang Body Painting dimunculkan sebagai bagian dari acara. Pelakunya pun tak melulu seniman, tetapi juga orang biasa seperti mahasiswa atau pelajar. Contohnya pada pagelaran Boom Sastra yang belum lama ini diselenggarakan oleh UKM Sastra Prodiction dari Fakultas Sastra Universitas Andalas, di sana diadakan acara Body Painting yang pesertanya adalah mahasiswa. Body Painting pun telah menjadi bagian dari dunia periklanan. Macam-macam iklan telah memakai model yang ber-Body Painting untuk mempromosikan produknya.

Meski perlahan, nyata tampak Body Painting mulai menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Mengingat hakikatnya sebagai sebuah kesenian, fenomena ini sebenarnya wajar saja, sebab sesungguhnya tiap masyarakat menyukai kesenian sebagai hiburan dan sebagai bentuk ekspresi diri. Namun yang perlu kita perhatikan adalah, jangan sampai kesenian kontemporer yang mengusung modernitas ini mengalahkan dan ‘membunuh’ kesenian tradisional yang merupakan identitas kita. Ditengah serbuan masuknya budaya asing, kita harus mampu mempertahankan kebudayaan asli kita. Boleh saja kita mengikuti perkembangan seni seperti yang dilakuakan di negara lain, tapi kita juga harus bisa mempertahankan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Jangan samapai kita kehilangan jati diri hanya karena seni.


* * *
picture source:
http://www.sttbali.com
http://www.lifestyle.dnaberita.com
http://profile.ak.fbcdn.net
http://pt.globalvoicesonline.org

dari Oct 8, '08 6:37 PM